Pandemi COVID-19, Proyek Semen dan Komunitas Rakyat Pegunungan Kendeng Utara

Artikel

Dalam kondisi pembatasan akibat pandemi COVID-19, pembelajaran menarik ditunjukkan oleh perjuangan dan perlawanan oleh komunitas rakyat Pegunungan Kendeng dari wilayah Jawa Tengah, Indonesia.

Giyem
Teaser Image Caption
Anggota JM-PPK membawa spanduk "Di Rumah Saja, Jangan Sakiti Ibu Bumi."

Pandemi COVID 19 yang melanda disebabkan virus SARS-CoV-2 telah memberikan kita basis refleksi, yang membuka tabir tentang risiko yang kita hadapi, sekaligus kerentanan kita ditengah modernitas abad 21. Dalam kondisi pembatasan akibat pandemi tersebut, pembelajaran menarik ditunjukkan oleh perjuangan dan perlawanan oleh komunitas rakyat Pegunungan Kendeng dari wilayah Jawa Tengah, Indonesia. Perjuangan Kendeng Lestari mewakili seluruh komunitas perjuangan ekologi yang tersebar di seluruh dunia dalam memaknai relasi manusia dengan alam, menyadari risiko, dan mencegah bencana seperti COVID 19 agar tidak terulang dimasa depan dengan berbasis pada kepedulian lingkungan. Berkebalikan dengan pembelajaran dari gerakan warga Kendeng, jaringan bisnis tambang seperti perusahaan semen justru mengingatkan kita tentang asal-usul kerentanan yang kita hadapi saat ini dengan COVID 19. SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab pandemi saat ini masih bersaudara dengan sejumlah virus seperti Ebola atau Marburg yang kemunculannya dipicu oleh penetrasi pertambangan. Bagaimana arah hukum dan kebijakan?

Pandemi COVID 19 dan Kerentanan

Sekitar satu setengah tahun sejak Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) diumumkan WHO sebagai pandemi global, mungkin belum banyak hal yang dapat kita ketahui tentang virus ini. Severe Acute Respiratory Syndrome-Corona Virus-2 (SARS-CoV-2) sebagai penyebab COVID 19 memang virus yang tergolong baru dari jenisnya, namun juga tergolong lama soal cara transmisinya dari alam menuju ke tenggorokan dan paru-paru kita. Walaupun pengetahuan kita belum cukup lengkap tentang virus ini,  satu setengah tahun ini sudah lebih dari cukup bagi kita untuk berefleksi, terutama untuk membayangkan masa depan.

Pada 24 Agustus 2021, Indonesia telah mencatatkan kasus terpapar COVID 19 yang ke 4 juta. Artinya, hanya butuh waktu 34 hari dari pengumuman kasus ke 3 juta pada 22 Juli 2021 hingga mencapai 4 juta (KOMPAS.com, 2021). Dengan jumlah 128.252 kasus kematian, menempatkan Indonesia memiliki case fatality rate (CFR) sebesar 3,2 persen, yang berarti lebih tinggi dari CFR global yaitu sekitar 2 persen, dan CFR sejumlah negara tetangga seperti Malaysia (0,9%), Timor Leste (0,3%), dan Singapura (0,1%). Sementara itu, pada tanggal yang sama, baru sekitar 32,6 juta jiwa rakyat Indonesia yang telah mendapatkan vaksinasi ke-1 dan ke-2, yang berarti angka vaksinasi Indonesia baru menyentuh angka sekitar 12 persen.[1]

Pandemi COVID 19 telah menampakkan risiko yang kita hadapi dalam rupa ancaman atau bahayanya, sekaligus menunjukkan betapa rentannya kita ditengah modernitas abad 21. Risiko pada dasarnya adalah bahaya/ancaman ditambah kerentanan (Alexander, 2013). Sedangkan, kerentanan adalah karakteristik intrinsik dari setiap unit atau sistem sosial dimana terdiri dari setidaknya dua komponen yaitu keterpaparan dan kurangnya ketahanan, serta terkait dengan konsep risiko dalam konteks modernitas refleksif (Forbes-Mewett & Nguyen-Trung, 2019). Jumlah keterpaparan COVID 19 yang telah menyentuh angka 216 juta jiwa secara global, dan cukup tingginya CFR di Indonesia menunjukkan betapa rentannya kita dari bahaya eksternal.

Pegunungan Kendeng Utara: Proyek Semen dan Komunitas Rakyat Kendeng

Peringatan hari bumi 22 April tahun 2020 lalu, dengan membawa kendi air dan bendera merah putih, sejumlah ibu-ibu di Pegunungan Kendeng Utara mendatangi beberapa lokasi pertambangan batu gamping di Kabupaten Pati. Gunarti, Giyem dan sejumlah warga lainnya merasa gelisah terhadap aktivitas pertambangan yang tidak berhenti di masa pandemi COVID 19. Mereka ingin “ngelingke” (mengingatkan) sejumlah pekerja dan pemilik tambang tentang bahaya COVID 19 dan bahaya dari pertambangan itu sendiri. Alih-alih didengarkan, Gunarti dan warga lainnya justru mendapat bentakan, intimidasi, kekerasan fisik, hingga penahanan oleh penjaga pertambangan tersebut.

Image removed.

Gunarti2
Gunarti saat “ngelingke” perusak bumi pada 22 April 2020

Gunarti, Giyem dan warga Kendeng sudah sejak lama memendam kegelisahan. Selain dari tambang-tambang kecil yang sudah beroperasi, rencana ekspansi produsen semen raksasa ke daerah mereka di Kayen dan Tambakromo, Kabupaten Pati, telah menjadi sumber kekhawatiran warga. Rencana itu berasal dari PT. Sahabat Mulia Sakti yang merupakan anak perusahaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) yang menjadi bagian dari HeidelbergCement Group (HEIX) yang berbasis di Jerman.[2] Walaupun belum terealisasi, warga Kendeng sadar terhadap risiko pertambangan dan pembangunan pabrik semen dengan luas sekitar 2800 Hektar tersebut, yang akan merusak wilayah tempat hidup mereka. Ancaman krisis pangan mengintai dimasa pandemi COVID 19 ini, dan semakin menyadarkan para petani Kendeng untuk mempertahankan kelangsungan pertanian mereka dengan menolak pertambangan.

Pertambangan menjadi salah satu faktor risiko yang potensial menambah kerentanan masyarakat, baik dalam kondisi normal maupun dalam kondisi ditengah bencana seperti pandemi COVID 19 ini. Berefleksi pada peristiwa zoonosis dimana virus penyakit dari aktor non-manusia ke manusia, maka praktik antropogenik (faktor yang berasal dari aktivitas manusia), seperti perubahan penggunaan lahan dan tindakan industri ekstraktif mempengaruhi penularan penyakit zoonosis (Karesh, et al., 2012). Bahkan, sejumlah infeksi virus telah dikaitkan dengan aktivitas pertambangan seperti virus Marburg pada 1998-2000 di Kongo, dan 2007-2008 di Uganda (Beltz, 2018) (Hammer, 2012). Kita juga diingatkan tentang virus Ebola yang masif menyerang pekerja tambang di Afrika, seperti pada 1994 di Gabon (CDC, 2021), 2018 di Kongo (Nebehay, 2019).

Pada 2012 terdapat infeksi virus tak dikenal yang ditemukan dilokasi tambang dan membunuh pekerja tambang di Mojiang, China dan kemudian dikenal sebagai virus Mojiang (Wu, et al., 2014). Pencarian asal mula SARS-CoV-2 baru-baru ini menemukan sampel yang diberi nama  RaTG13 yang memiliki kesamaan sebesar 96,2% dengan SARS-CoV-2, yang berasal dari lokasi tambang yang sama dengan kejadian virus Mojiang pada 2012 (Zhou, et al., A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin, 2020). Akan tetapi sampai Maret 2021, WHO menyatakan bahwa semua hipotesis terkait asal usul SARS-CoV-2 masih terbuka, dan hingga Juli 2021 sejumlah penelitian hanya mengarah kepada zoonosis yang berasal dari kelelawar tapal kuda yang tampaknya menjadi reservoir alami SARS-CoV-2 (Domingo, 2021).

Walaupun asal usul SARS-CoV-2 sebagai penyebab COVID 19 belum ditemukan secara pasti, upaya memahaminya cukup bagi kita untuk kembali berefleksi. Asal usul sejumlah virus tersebut telah dikaitkan dengan sejumlah spesies hewan terutama kelelawar, namun hal tersebut tidak berarti kelelawar atau spesies hewan lainnya bersalah dalam menyebabkan bahaya bagi kita, karena penelitian lain menyebut bahwa kelelawar tidak dapat menularkan virus secara langsung ke manusia (Kurniawan, Suryani, Kusumorini, & Akbar, 2020). Bahwa sejumlah virus mematikan seperti SARS, Ebola, Marburg, MOJV, MERS, dan mungkin SARS-CoV-2 sebagai peristiwa zoonosis menjadi risiko karena faktor ulah manusia sendiri, terutama karena habitat alaminya dirusak oleh aktivitas manusia. Bahkan, David Quammen dalam sebuah opini di The New York Times berjudul “We Made the Coronavirus Epidemic; It may have started with a bat in a cave, but human activity set it loose”, menyampaikan :

“We invade tropical forests and other wild landscapes, which harbor so many species of animals and plants — and within those creatures, so many unknown viruses. We cut the trees; we kill the animals or cage them and send them to markets. We disrupt ecosystems, and we shake viruses loose from their natural hosts. When that happens, they need a new host. Often, we are it.” (Quammen, 2020)

Menanggapi bencana lingkungan yang terus berlanjut dan ketidakpastian informasi mengenai kelelawar yang disebut sebagai asal usul SARS-CoV-2, pada 12 April 2020 komunitas rakyat Kendeng dan jaringan masyarakat sipil menyelenggarakan diskusi daring. Sigit Wiantoro yang merupakan peneliti fauna khususnya kelelawar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Soeryo Adiwibowo yang merupakan tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng dan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) mengajak warga Kendeng dan masyarakat sipil untuk belajar bersama tentang manfaat kelelawar dan sejumlah spesies flora dan fauna, serta kesadaran untuk menjaga habitatnya. Diskusi ini juga mengungkapkan betapa esensial dan pentingnya Pegunungan Kendeng sebagai ruang hidup bersama antara manusia, hewan dan tumbuhan.Image removed.

YLBHI
Flyer Diskusi daring warga Kendeng bersama ahli dan masyarakat sipil pada 12 April 2020.

Berdasarkan KLHS yang diterbitkan pada 2017, Pegunungan Kendeng menjadi habitat sejumlah spesies flora dan fauna yang sejak dahulu memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat dan alam. Salah satu keanekaragaman hayati yang penting khususnya di dalam gua adalah kelelawar, burung sriti dan walet (KLHK, 2017). Dari berbagai sejumlah data, sedikitnya terdapat 91 Gua di Kabupaten Pati, 97 Gua di Kabupaten Tuban, 76 Gua di Kabupaten Rembang, 53 Gua di Kabupaten Grobogan, 28 Gua di Kabupaten Blora, dan masing-masing 1 Gua di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bojonegoro yang menjadi bagian dari Pegunungan Kendeng Utara (ASC, 2008) (SCA, 2017) (SSC, 2014) (JM-PPK, Giri Bahama, dan MSI/ISS, 2016) (Wacana, et al., 2014)  (KSP dan KLHK Republik Indonesia, 2017).

Berdasarkan KLHS dan sejumlah penelitian, di Pegunungan Kendeng teridentifikasi 22 Jenis kelelawar yang terdiri dari 19 spesies pemakan serangga (insectivorous), 2 spesies pemakan buah (frugivorous) dan 1 spesies pemakan nektar (nectrivorous) (Tamasuki, Wijayanti, & Fitriana, 2015) (Prakarsa, Putra, & Ahmadin, Peranan Kelelawar Subordo Microchiroptera Penghuni Gua Sebagai Pengendali Populasi Serangga Hama: Studi Gua Lawa Temandang Di Kawasan Karst Tuban Jawa Timur, 2013) (Prakarsa, Putra, & Ahmadin, 2013) (KLHK, 2017). Bahkan, perhitungan perubahan penggunaan lahan di Pegunungan Kendeng (prediksi 20 tahun mendatang) termasuk karena eksploitasi pertambangan, berkonsekuensi terhadap kelelawar meliputi perubahan pola jelajah dan migrasi, terganggunya pola distribusi populasi serangga, bahkan respon migrasi ke luar daerah jelajahnya. Dari sana, biaya yang mesti ditanggung untuk menggantikan fungsi kelelawar sebagai pemberantas hama serangga di masa panen dalam periode satu tahun adalah: Rp 24.015.147.500 pertahun, sementara nilai kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas durian dan petai karena terganggunya fungsi kelelawar sebagai penyerbuk adalah: Rp 32.924.612.211 per tahun (KLHK, 2017).

Kendeng Maneges

Dari penelitian terbaru yang terkait dengan gunung karst, gua dan kelelawar, diketahui bahwa protein antigenic, non-allergen dan non toxic SARS-CoV dari kelelawar yang berasal dari kawasan Karst Malang (Jawa Timur) dapat digunakan sebagai vaksin, imunoterapi dan kit diagnostik (Hadi, et al., 2021). Dengan kelimpahan dan keanekaragaman hayati yang ada, sangat mungkin Pegunungan Karst Kendeng Utara dapat menyediakan hal yang sama seperti yang disediakan oleh karst Malang. Artinya, kelelawar dan kawasan karst menyediakan sesuatu yang potensial untuk menangani bahkan mengakhiri pandemi yang sedang terjadi ini.

Dari diskusi dan sejumlah data yang ada, pasca diskusi warga Kendeng semakin memantapkan sikap untuk bersetia dalam melestarikan alam Pegunungan Kendeng, terutama dari ancaman pertambangan dan industri semen. Dalam siaran persnya, warga menyerukan sikapnya terkait pandemi COVID 19, yaitu:

Pembatasan berskala besar itu seharusnya terhadap upaya eksploitasi yang menghancurkan ekosistem dan habitat asli hewan liar semacam kelelawar yang berpotensi menularkan virus ke manusia. Caranya, menghentikan penghancuran alam di Pegunungan Kendeng dan menutup pabrik semen”.[4]

Ditengah pandemi COVID 19 yang disebut memiliki kaitan dengan peristiwa zoonosis, perjuangan Kendeng lestari seolah mewakili komunitas perjuangan ekologis yang tersebar di seluruh dunia dalam memaknai relasi manusia dengan alam. Alih-alih mempersalahkan virus yang mungkin berasal dari alam, warga Kendeng justru mempertebal iman untuk peduli kepada alam dengan jalan menolak tambang dan industri ekstraktif semen yang “ngelarani ibu bumi” (menyakiti ibu bumi). Perjuangan Kendeng lestari juga tangkas dalam menyadari risiko dengan jalan tak henti untuk belajar dan berefleksi, bahwa pandemi COVID 19 merupakan konsekuensi dari tindakan manusia yang tak henti merusak alam. Perjuangan merawat alam dan menolak pertambangan yang merusak menjadi hasil refleksif untuk mencegah bencana seperti COVID 19 agar tidak terulang kembali.

Apabila perjuangan Kendeng Lestari cukup mampu untuk membangun kesadarannya sebagai modalitas menghadapi risiko seperti pandemic COVID 19, bagaimana dengan industri dan pemerintah Indonesia?

Hukum dan Kebijakan

Pemerintah Indonesia terus menjadi sorotan dan kritik terkait penanganan pandemi COVID 19. Pada gelombang pertama pandemi, Indonesia dinilai gagal mengendalikan virus corona (Allard & Lamb, 2020). Sementara dalam gelombang kedua ini, sorotan diarahkan kepada penyediaan data COVID 19 yang disebut tidak dapat diandalkan, penggunaan indikator kesehatan yang tidak konsisten, hingga vaksinasi yang lamban (Suhenda, 2021). Selain itu, sorotan utama dialamatkan pada kebijakan penanganan yang dinilai tidak efisien dan ambigu sehingga menyebabkan kebingungan publik (Irsadanar, 2021).

Ambiguitas kebijakan pemerintah telah tampak sejak awal pandemic, dimulai dari pemberlakuan pembatasan masyarakat tanpa disertai penyediaan kebutuhan pokok yang telah diatur dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini berbanding terbalik dengan penyediaan alokasi yang lebih besar kepada sektor ekonomi seperti industri, BUMN dan infrastruktur dibandingkan alokasi bagi sektor kesehatan (Alika, 2020) dan sektor pangan yang tidak menjadi prioritas (Hasan, Hartati, & Ayuni, 2021).  Kelompok masyarakat sipil bahkan menyurati Presiden Joko Widodo yang berisi kritikan, bahwa selama pandemic, masyarakat adat dan petani kesulitan menjaga keselamatan diri akibat konflik yang masih terus terjadi yang berasal dari industri berbasis lahan seperti perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan proyek infrastruktur (AMAN, WALHI, KPA, & in Forest Digest, 2021).

Kendati Presiden telah menetapkan COVID 19 sebagai bencana nasional dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB),[5] hal ini tidak berlaku bagi sejumlah industri ekstraktif termasuk sektor pertambangan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam laporannya menyampaikan bahwa ribuan tambang di Indonesia masih tetap beroperasi, memperburuk krisis, dan merentankan “imunitas sosial-ekologi” warga. JATAM juga mencatat, kerentanan yang dimaksud berupa risiko munculnya kluster penyebaran COVID 19, ancaman terhadap sumber air, kawasan pangan, kawasan sakral masyarakat, kawasan dekat permukiman, potensi konflik horizontal, dan ancaman gangguan kesehatan seperti ISPA (Saini, et al., 2020).

Sedangkan industri ekstraktif seperti korporasi semen tampak menikmati apa yang disediakan oleh pemerintah dengan meneruskan eksploitasi yang merusak alam walau dimasa pandemi seperti saat ini. Hal ini dapat dilihat dari laporan tahunan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk tahun 2020, yang menyediakan bukti bahwa walaupun ditengah kondisi pasar yang kelebihan pasokan (over supply) sebesar 53 juta ton, Indocement mengklaim berhasil meningkatkan pangsa pasarnya di Industri semen nasional. Mendasarkan pada data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Indocement menyebut pangsa pasarnya meningkat dari 25,50% di 2019 menjadi 25,90% di 2020 (Indocement HeidelbergCement Group, 2020).

Belajar dari zoonosis dan COVID 19, Industri semen dengan pemahaman business as usual bukan hanya tidak peka pada kedaruratan akibat pandemi global. Para pemegang saham seolah tanpa sadar telah berperan sebagai pencipta kedaruratan itu sendiri. Mereka terus menanamkan modalnya bagi industri yang mengeksploitasi kawasan-kawasan esensial dan menimbulkan risiko kesehatan masyarakat, dan menyebabkan kerentanan masyarakat global semakin besar. Dari sini kita bertanya, apakah besaran dividen yang dibagikan industri perusak setimpal dengan risiko dan kerentanan yang diciptakannya? Kita berharap upaya untuk mengakhiri bencana seperti COVID 19 dan menciptakan masa depan yang berlandaskan kesadaran ekologis lebih layak untuk diprioritaskan mendapat dukungan dan modal.

Kendeng Women Farmers

Perumusan hukum dan kebijakan oleh negara sebaiknya menjauhi pilihan untuk mengakselerasi industri ekstraktif seperti pertambangan. Negara sebaiknya belajar dari komunitas rakyat di Pegunungan Kendeng Utara yang sangat otentik dalam cara hidupnya, yaitu bersetia dan mengimani pemahaman tentang etika dan kepedulian lingkungan. Moratorium izin dan penghentian aktivitas destruktif industri pertambangan, serta penguatan sektor kesehatan dan penyediaan pangan menjadi kebutuhan yang harus diprioritaskan.

Terkait dengan perumusan hukum dan kebijakan, KLHS Pegunungan Kendeng Utara dapat menjadi landasan untuk memoratorium dan menghentikan perusakan alam di Pegunungan Kendeng Utara. Barisan warga dan petani Kendeng juga siap berkontribusi bagi produksi pangan berkualitas untuk kebutuhan nasional, bahkan global. Sedangkan ekosistem Pegunungan Kendeng, sangat layak apabila dijadikan laboratorium publik untuk memproduksi pengetahuan untuk kepentingan nasional dan warga dunia, terutama dibidang kesehatan untuk mencegah bencana COVID 19 tidak terulang dimasa depan. Untuk itu semua, syaratnya hanya satu yaitu “Kendeng Lestari”.

__

Ivan Wagner adalah Pengacara dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti, Pontianak

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini belum tentu mewakili  Heinrich Böll Stiftung.

 


[1] Data diolah dari sejumlah sumber, antara lain: https://covid19.who.int/ , https://covid19.go.id/ , dan https://vaksin.kemkes.go.id/

[2] INTP merupakan kode emiten di lantai bursa saham Indonesia untuk PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dan HEIX merupakan kode emiten di lantai bursa saham Jerman untuk HeidelbergCement AG

[3] Diskusi ini dapat disaksikan melalui kanal YouTube Yayasan LBH Indonesia melalui link: https://www.youtube.com/watch?v=7e6mMs-kL_k

[4] Siaran Pers Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), 12 April 2021 dapat juga dilihat dari pemberitaan di https://www.mongabay.co.id/2020/04/26/perempuan-kendeng-pertanyakan-operasi-pabrik-semen-di-masa-pandemi/

[5] lewat Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) Sebagai Bencana Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2020 Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID 19)