Artikel ini memberi pilihan pilihan bagi komunitas lokal di Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah untuk memperluas kampanye mereka untuk menuntut hak-hak hukum dan lingkungan berdasarkan pengalaman di manca negara
Click here for the article in English version.
A. Introduksi
Artikel ini memberi pilihan pilihan bagi komunitas lokal di Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah untuk memperluas kampanye mereka untuk menuntut hak-hak hukum dan lingkungan berdasarkan pengalaman di manca negara. Setelah menunjukkan latarbelakng dari pabrik semen di komunitas mereka, watak dari ekstraksi semen, pola and resiko pertanggungjawaban industri semen, dan solusi di tempat lain, artikel ini memperlihatkan area yang mungkin untuk kampanye lingkungan. Di akhir diskusi, artikel ini berharap memperbaiki aspek dan sudut pandang kampanye lingkungan bukan hanya untuk korban pabrik semen tapi juga korban industri ekstraktif lain yang terkenal karena kerusakan lingkungan yang tidak berkelanjutan.
Satu-satunya pertanyaan yang dilontarkan artikel ini adalah “apa saja jalan bagi korban atau penuntut pelanggaran hak asasi manusia dan berbagai bentuk pelanggaran hukum lain untuk menetapkan perusahaan internasional sebagai penanggung jawab atas plenaggaran yang dilakukan oleh anak-anak perusahaan mereka di dunia ketiga?” Perusahaan perusahaan milik negara dan dari mancanegara merencanakan kegiatan ekstraksi untuk produksi semen di beberapa kecamatan di satu dari lima kota utama di Pegunungan Kendeng (kota Blora, Rembang, Grobogan, Pati dan Kudus). Pertanyaan lain tentang cara untuk memobilisasi pengadilan pengadilan lokal sebagai pembela lingkungan dan hak asasi manusia tidak didiskusikan di artikel pendek ini.
Artikel ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama akan menjelaskan latarbelakang komunitas petani di Kendeng dan pabrik semen. Bagian kedua akan menunjukkan watak dari industri semen. Bagian ketiga membeberkan pola resiko pelanggaran hak asasi manusia dan pertanggungjawaban dari perusahaan semen sekaligus solusi solusi yang sudah dicoba di tempat lain. Bagian keempat akan menjelaskan horizon hukum untuk hak hak hukum dan hak asasi manusia dalam kampanye pro-lingkungan di Pegunungan Kendeng.
B. Watak Produksi Semen
Aspek paling strategis tapi paling tidak diketahui dalam produksi semen adalah “water footprint” (jejak pemakaian air) atau kalkulasi pemakaian total air di semua tahap produksi semen, yang biasanya penting untuk menilai keberlanjutan pabrik semen di wilayah-wilayah kering. Dengan memakai model yang disebut Life Cycle Assessment yang dibuat oleh Jeswani dan Azapagic (2011), Hosseinian dan Nezamoleslasmi (2017) menghitung “Water Footprint” sebuat pabrik semen di wilayah barat Iran dengan tingkat produksi 1,7 juta ton semen per tahun. Penelitian ini menemukan Water Footprint total pabrik ini sebanyak 3,164 juga meter kubik (air) di 2016 (dengan intensitas pemakaian air sebanyak 2,126 meter kubik air per ton semen yang dibuat) [1] atau mengindikasikan resiko tinggi keberlanjutan industri semen di wilayah kering.
Penemuan ini membuktikan tingginya resiko keberlanjutan industri semen di wilayah kering seperti Iran (Hosseinian and Nezamoleslami, 2017, hal. 23). Sebagai ilustrasi, kebutuhan sebanyak 2.300 meter kubik air sehari oleh satu pabrik semen di sebuah kota sama dengan menghabiskan kebutuhan air untuk 15.000-20.000 penduduk kota itu sehari (Chegreghni 2004). Dengan perhitungan sederhana, pabrik semen di Iran ini (dengan kebutuhan 9.901 meter kubik air per hari) akan menghisap sumber air setara dengan kebutuhan harian 64.000 sampai 86.000 penduduk kota di dekatnya.
Kerusakan dobel dari produksi semen di pegunungan karst yang ringkih seperti Pegunungan Kendeng terjadi ketika pabrik semen menyedot air yang disimpan oleh sistem reservasi alami ini sekaligus menghancurkan bahan-bahan pembuat sistem reservasi alamnya.
Partikel paling berbahaya yang dilemparkan begitu saja oleh pabrik semen ke udara terbuka adalah merkuri (Hg) yang dikenal sebagai “racun syaraf”. Kalau dilepaskan di udara bebas, merkuri logam akan menimbulkan gejala seperti gemetar, perubahan emosi (rasa penasaran, rasa malu berlebihan, mudah tersinggung), insomnia (susah tidur), perubahan otot (lemah, kedutan), pusing, gangguan sensasi, gangguan dalam respons syaraf, kegagalan melalui tes-tes fungsi mental (terpapar secara akut bias membawa gagal ginjal, masalah pernafasan, dan kematian) (https://www.epa.gov/mercury/health-effects-exposures-mercury). Penelitian oleh Jong and Tai (2012) menghitung emisi merkuri dari pabrik semen di Korea dengan mengukur konsentrasi merkuri dalam gas gas buang dari cerobong pabrik semen. Total emisi merkuri per tahun yang langsung dibuang ke udara terbuka di 2012 oleh industri semen adalah sebanyak 1,71 ton dengan sekitar 1,17-1,53 ton (atau 68-69 persen dari semua emisi) dilepas langsung ke lingkungan (Jong dan Tai 2012).
Racun yang kurang dilaporkan dan diketahui yang dilepaskan pabrik semen adalah efek radiologi (radium-226, thorium-232, dan potassium-40 di bahan semen). Penelitian oleh El-Taher et al. (2010) di Mesir menemukan level aman radiasi (dari 25 bahan pembuat semen) di bawah ambang aman 370 Bq per kg. [2] Bahaya radiologis yang rendah ini tetap saja sangat penting dari sudut pandang untuk memilih bahan bahan paling patut dalam produksi sement (El-Taher et al. 2010).
Hak-hak yang dilanggar oleh industri ekstraktif seperti semen dengan sistem eksploitasi ekstrem yang mendesak Analisa Dampak Hak Asasi (Human Rights Impact Assessments) secara komprehensif adalah: (1) hak atas air,[3] (2) hak atas udara[4], (3) hak atas properti/tanah[5], (4) ha atas kesehatan[6], (5) hak kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat (dalam Pasal 11 Human Rights Act and the European Convention on Human Rights, dan Pasal 21 ICCPR), dan (6) ha katas pengadilan yang adil (dalam Pasal 6 Human Rights Act, European Convention on Human Rights dan Pasal 14 ICCPR)[7].
C. Pola-pola Pertanggungjawaban dan Resiko Pelanggaran Hak Asasi Manusia
- Pertanggungjawaban [atas pelanggaran] Hak Asasi Manusia
Ukuran standar pertanggungjawaban atas resiko yang terkandung dalam industri ekstraksi telah dilaporkan oleh Kaeb (2008) sebagai “tuduhan-tuduhan persengkongkolan”. Perusahaan asing yang beroperasi di negara asing biasanya berkomplot dengan pemerintah setempat untuk memulai dan melangsungkan operasi mereka di luar negeri (lihat juga Frynas 2003).
Peluang pertama pelanggaran hak asasi manusia biasanya terjadi melalui percampuradukan konteks politik atau unsur local dalam operasi ekstraksi (Kaeb 2008, hal. 329). Perpecahan yang dalam di antara kelompok-kelompok politik lokal, biasanya antara pejabat pemerintah dan komunitas lokal, mengaburkan garis yang jelas antara pertanggungjawaban pemerintah dan perusahaan kalau pelanggaran hak asasi manusi terjadi (Kaeb 2008, hal. 330 mengutip Watts, 2005). Di Pegunungan Kendeng, dengan alasan yang sama, perusahaan Jerman HeidelbergCement dengan anak-anak usahanya: PT. Indocement, PT. Sahabat Mulia Sakti (Keller dan Klute 2016) bekerjasama dengan Semen Indonesia yang sahamnya dimiliki pemerintah Indonesia. Dengan kata lain, kepentingan perusahaan dan pemerintah dalam melindungi operasi dan fasilitas industri ekstraktif sangat timpang tindih (Kaeb 2008, hal. 330). Ketimpangtindihan ini menimbulkan “tuduhan persengkongkolan” kepada perusahaan transnasional atau asing dan jadi alasan bagi komunitas lokal and lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya pengawas kegiatan perusahaan semen dengan watak joint venture dalam mendesak respek yang lebih dalam pada hak asasi manusia dalam kebijakan pemerintah (Watts 2005).
Tuduhan kedua bagi industri ekstraktif seperti semen di sekitar persengkongkolan ada berhungang dengan keamanan di negara di mana mereka beroperasi (Kaeb 2008, hal. 330). Resiko keamanan ini berawal dari protes terhadap perilaku dan kebijakan perusahaan yang menimbulkan dampak buruk pada komunitas lokal. Untuk melindungi pegawai dan fasilitas perusahaan, perusahaan biasanya membayar para-militer local yang dilatih atau direkrut polisi lokal atau unit keamanan lain. Misalnya, dalam acara “penanaman batu pertama” pabrik semen di Pegunungan Kendeng pada 16 Juni 2014, pegawai perusahaan membawa polisi/tantara untuk menghadapi para petani yang berdemonstrasi. Pada hari itu, sekitar 100 personil polisi dan tentara menangkap secara tanpa hak 7 “petani pemrotes” walau mereka ini dilepaskan setelahnya (Apriando dan Saturi 2014). Garis yang tidak jelas antara kepentingan perusahaan dan pemerintah di perusahaan semen mewakili apa yang dikenal sebagai Paradoks Stocksian yang berasal dari Amerika Latin dimana negara/pemerintah menjadi ‘counter-claimant’ (atau “penuntut hak” atas hak milik atau hak lingkungan yang seharusnya dimiliki masyarakat adat atau buruh petani (Herwati dan Sumarlan, 2016). Di Pegunungan Kendeng dan tempat-tempat lain di Jawa, pemerintah Indonesia mempraktekkan Paradoks Stocksian yang lebih buruk daripada varian Amerika Latin karena pemerintah bisa memobilisasi pengadilan-pengadilan lokal untuk "menghukum" buruh petani atau masyarakat adat yang memprotes kegiatan pemerintah dengan tuduhan "pendudukan secara melawan hukum," "memasuki tanah negara/perusahaan tanpa izin," "pengrusakan hak milik negara" atau apa saja yang diklaim oleh negara sebagai hak miliknya. Kasus paling terkenal yang menunjukkan kemampuan negara/pemerintah untuk mengikutsertakan pengadilan-pengadilan lokal untuk “menghukum” buruh petani adalah Kasus PTPN IX (nama perusahaan milik negara) dengan menyeret 520 petani buruh sebagai tersangka (dan terhukum) dalam tuduhah “pendudukan secara melawan hukum” atas “tanah milik negara” (Herwati 2015, hal. 43-47).
Pintu ketiga untuk menyeret industrii semen ada berhubungan dengan pelanggaran aktif hak asasi manusia melalui pelanggaran yang dilakukan oleh personil keamanan yang dikontrak, diminta, atau bertindak demikian dengan sepengetahuan perusahaan (Kaeb 2008, hal. 332). Tipe keempat untuk contoh pertanggungjawaban pabrik ekstraksi semen muncul sebagai tantangan bagi badan pengadilan lokal atau pengadilan lain untuk membuktikan garis pertanggungjawaban yang gamblang antara pelanggaran hak asasi manusia dan standar penetapan “persengkongkolan".
Tantangan kelima yang muncul saat para korban pelanggaran menuntut pertanggungjawaban industri ekstraktif adalah ketiadaan standar pembuktian (actus reus berarti pembuktian atas perilaku criminal; mens rea berarti pembuktian adanya niat sebelum perilaku criminal terjadi) baik di kalangan pengadilan lokal maupun pengadilan internasional. Perusahaan-perusahaan menentang koneksi mereka dengan perilaku personil keamanan di negara-negara lain, yang sulit untuk dibuktikan karena kejaharannya tidak terjadi di wilayah yang dikontrol dalam “wilayah pengaruh” perusahaan (Kaeb 2008, hal. 336).
Garis pertanggungjawaban paling kritis (yang keenam) antara kantor utama perusahaan pelanggar hak asasi manusia dan pelanggaran yang terjadi di negara lain terjadi ketika hukum negara dimana letak markas besar perusahaan bisa menggunakan prinsip extrateriteritorialitas atas kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak perusahaan di negara-negara lain. Untuk praktek prinsip extraterritoriality yang dilaksanakan oleh Institut Hak Asasi Manusia Nasional di tiga negara ASEAN (Thailand, Malaysia, dan Laos), Middleton (2018) telah menganalisa praktek sekitar investasi infrastruktur di proyek lintas-negara dan menemukan bahwa Komisi Nasional HAM Thailand (National Human Rights Commission of Thailand or NHRCT) menerima kasus-kasus sehubungan Obligasi Extra-Territorialitas (ETOs atau Extra-Territoriality Obligations[8]. (Dengan pasal-pasal KUHP Jerman yang mempidana perbuatan menyebabkan polusi air dan membuat bahaya fisik konsekuensi fatal, Greenpeace mengajukan tuntutan kriminal terhadap perusahaan minyak Perancis Total Fina Elf—bermarkas besar di Berlin—untuk polusi di Siberia pada bulan April 2002.)[9] Komisi Nasional HAM Thailand menerima penanganan kasus Waduk Xayaburi setelah meneriman pengaduan dari Network of Thai People in Eight Mekhong Provinces (Jaringan Penduduk Thailand di Delapan Provinsi Mekhong) yang diajukan pada bulan Mei 2001: proyek waduk ini tidak menghormati prinsip “pembukaan informasi” and “partisipasi publik,” dan Environmental Impact Assessment (AMDAL) and Analisa mengenai Dampak Kesehatan” (NHRCT, 2012). Konsep lain untuk memperkuat perlindungan masyarakat adalah konsep Lisensi Sosial atau Social License (bagian dari Ruggie[10] Framework of Corporate Social Responsibility atau Kerangka Ruggie untuk Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan); konsep ini didefinisikan sebagai “tuntutan pada dan pengharapan bagi suatu perusahaan yang muncul dari lingkungan sosial, kelompok kampanye lingkungan, anggota komunitas, dan elemen lain civil society” (Gunningham et al. 2004). Sejauh ini, konsep Lisensi Sosial atau Social License ini sudah terkenal di kalangan perusahaan ekstraktif seperti Komite Internasional Tambang Mineral (International Council on Mining Minerals), Asosiasi Batubara Australia (the Australian Coal Association), Komisi Mineral Australia (the Minerals Council of Australia), dan anggota-anggota mereka (Wheeler, 2015, hal. 10).
- Pola-pola Resiko Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Resiko pertama dari industri ekstraktif di dunia ketiga adalah pelanggaran brutal hak asasi manusia (pembunuhan, penangkapan semena-mena, dan penyiksaan) yang dilakukan oleh anak-anak perusahaan mereka. Membuktikan relasi pertanggungjawaban antara induk perusahaan dan anak-anak perusahaan yang sering melanggar hak asasi manusia adalah tugas para korban dan Badan Pengadilan. Kasus paling menarik soal pembuktian pertanggungjawaban langsung antara kantor utama perusahaan (di negara kaya) dan anak-anak perusahaan (di negara miskin dimana pelanggaran terjadi) adalah tuntutan terhadap Chevron Texaco Corporation (AS) dan anak perusahaannya Chevron Nigeria Limited (CNL) in Nigeria. Para korban atau penuntut mengklaim bahwa dua kasus penembakan oleh tentara Nigeria yang disewa oleh CNL dari kendaraan yang disewa CNL (dengan pegawai CNL di kendaraan itu) di tahun 1999 telah menewaskan beberapa penduduk (Kaeb 2008, hal. 339). Setelah itu, Pengadilan Distrik California Utara dimana tuntutan ini diserahkan menyatakan bahwa relasi (antara Chevron Texaco Corporation dan CNL) sudah memadai bagi juri yang adil untuk menetapkan bahwa anak perusahaan di Nigeria adalah pegawai langsung dari Chevron Texaco Corporation sehingga ibu perusahaannya harus bertanggungjawab (Kaeb 2008, hal. 339).
Resiko kedua di kehadiran industri ekstraktif in negara-negara dimana kerja paksa atau buruh anak masih sering dilakukan adalah pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yang dilakukan untuk melancarkan sistem kerja paksa (seperti di Afrika atau Asia). Di suatu proyek pipa gas alam bernama Yadana, UNOCAL (bermarkas di AS) ditetapkan bertanggungjawab oleh Pengadilan Kasasi ke-Sembilan (the Ninth Circuit Court of Appeals) karena “memberi bantuan praktis untuk Angkatan Bersenjata Burma dalam memaksa para penuntut/korban menjadi buruh kerja paksa.”[11] Perusahaan Perancis “TOTAL” dituntut oleh empat pengungsi dari Burma (yang lari dari kerja paksa dan lantas ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi Belgia sebagai pemilik hak yang setara dengan hak warga negara Belgia) di tahun 2002 lewat pengadilan Belgia yang melaksanakan jurisdiksi ekstrajudisial atas tersangka kejahatan berstatus orang asing atas kejahatan internasional yang dilakukan di negara-negara lain”[12]. Di bawah tekanan publik karena relasinya dengan pemerintah otoriter, TOTAL lalu memulai kebijakan Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility atau CSR untuk “melindungi keamanan pegawai” dan “hak asasi manusia” dan untuk mempercepat pembangunan di sekitar lokasi pertambangan (TOTAL 2006).
Resiko ketiga sekitar industri ekstraktif dengan konsesi yang luas adalah penggusuran paksa. Karena lokasi ekstraksi semen (sejak 2005) di Pegunungan Kendeng adalah wilayah pertanian produktif (padi dan jagung) seluas 1.560 hektar sekitar Kabupaten Pati (Sobirin 2018), penggusuran paksa besar-besaran akan terjadi. Dari sudut hukum dan hak asasi manusia, perampasan (tanah) dan pemindahan paksa hanya boleh dijustifikasi ketika: (1) proyeknya benar-benar kepentingan umum (terbukti dan terukur dengan prosedur yang standar), (2) prinsip proportionalitas telah dipenuhi (ketika bahaya atau rugi yang diciptakan sebanding dengan keuntungan yang diharapkan), (3) ketika “due process” (proses kelayakan) sudah dilakukan (orang yang dirugikan mendapat bantuan hukum dan kemampuan untuk melakukan upaya perlawanan), dan (4) rakyat banyak yang dirugikan telah diberikan kompensasi penuh dan adil (sehingga mereka tidak jadi lebih buruk keadaannya) (Hoops et al. 2015; United Nations 2014; BverfG 2013).
D. Penutup
Artikel ini telah mendiskusikan paling tidak tiga level kewajiban dari perusahaan (anak perusahaan, perusahaan milik negara, dan perusahaan transnasional): pertanggungjawaban administratif-lingkungan[13], sosial[14], and legal-kriminal. Fokus dari artikel ini ada pada pertanggungjawaban legal-kriminal dari kantor perusahaan utama atas aktivitas (pelanggaran, penggusuran paksa, penangkapan semena-mena, dll.) yang dilakukan anak perusahaan. Jalur utama pertanggungjawaban legal-kriminal muncul melalui konsep ekstrateritorialitas lewat pencegahan (dengan paradigma “ekstrateritorialitas restriktif”) dan lewat pemrosesan (dengan paradigma “ekstrateritorialitas ekspansif”) terhadap pelanggaran hak asasi manusia atau hukum internasional lain oleh perusahaan transnasional yang beroperasi di luar batas teritori negaranya. Jalur kedua pertanggungjawaban legal-kriminal adalah lewat “Arbitrasi Internasional untuk Litigasi Hak Asasi Manusia” (International Arbitration in Human Rights Litigation[15]”. Pasal-pasal 3(5) and 21 Treaties of European Union (TUE atau Traktaat Maastricht 1993) sudah menetapkan—walau terbatas—penganjuran dan perlindungan hak asasi manusia sebagai pedoman kebijakan luar negeri Eropa (Cannizzaro 2015).
Karena keterbatasan tempat, artikel ini akan diakhiri dengan menunjukkan tiga masalah untuk mengaplikasikan jurisdiksi ekstrateritorialitas demi memperbaikan akuntabilitas dan pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan transnasional: (1) penetapan “kebangsaan” dari suatu perusahaan, (2) pelurusan atau penyederhanaan struktur perusahaan multinasional yang kompleks, dan (3) kehadiran yang tidak berbenturan beberapa aturan dari negara yang melaksanakan jurisdiksi ekstrateritorialitas dengan negara dimana pelanggaran terjadi (de Schutter, 2006, pp. 29-36, bisa didownload di https://www.business-humanrights.org/sites/default/files/reports-and-materials/Olivier-de-Schutter-report-for-SRSG-re-extraterritorial-jurisdiction-Dec-2006.pdf). Tulisan de Schutter (2006) ini juga mendiskusikan beberapa jalan untuk mengatasi masalah-masalah ini.
Catatan Kaki
[1] Perhitungan lama untuk pemakaian air oleh industri semen adalah perhitungan jumlah air segar yang dihabiskan untuk memproduksi satu ton semen (air segar adalah air olahan PAM, air tanah, atau air di permukaan bumi); tetapi perhitungan ini tidak menyeluruh dibanding kalkulasi Water Footprint.
[2] Bq atau becquerel adalah unit pengukuran radioaktivitas oleh Standard Industri. Satu Bq per kg berarti peluruhan satu inti atom per detik per kilogram material yang diukur, yang masih sangat rendah.
[3] Hak ini diakui oleh PBB melalui Komisi Ekonomi, Sosial dan Kultural lewat 2002 General Comment 15 yang merujuk hak ini sebagai hak untuk standar hidup yang layak dan standar tertinggi atas kesehatan yang disebut di Pasal 11 dan 12 the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Periksa juga tulisan Deva (2007).
[4] Walau tidak sejelas pengakuannya seperti atas hak untuk air, hak ini didiskusikan oleh introduksi suatu komite ahli independen dalah hak asasi manusia dan lingkungan di tahun 2012 (Office of the High Commissioner for Human Rights, "Independent Expert on Human Rights and the Environment," United Nations, bias dilihat di:<http://www.ohchr.org/EN/Issues/Environment/IEEnvironment/Pages/IEenvironmentIndex.aspx>.
[5] Ha katas tanah bisa diinterpretasikan sebagai atas tanah yang terbebas dari destruksi ekologi dan dampak merusak atas kesehatan dan properti penduduk (Short et al., 2015, hal. 712). International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Tahun 1966 Pasal 17 memasukkan hak untuk tidak "dijadikan korban keputusan atau intervensi sepihak atau melawan hukum” atas ketentraman pribadi, keluarga, rumah, atau komunikasi/surat menyurat."
[6] Hak atas kesehatan adalah 'hak inklusif,' terdiri dari bukan hanya dari hak untuk mengakses perawatan kesehatan tapi juga hak-hak atas perlindungan dari gangguan kesehatan, misalnya 'akses ke air bersih dan sanitasi memadai dan lingkungan yang sehat' (Office of the High Commissioner for Human Rights, 'Special Rapporteur on the Right of Everyone to the Enjoyment of the Highest Attainable Standard of Physical and Mental Health,' United Nations, http://www.ohchr.org/EN/Issues/Health/Pages/SRRightHealthIndex.aspx.
[7] HMSO, Human Rights Act, Article 6; Council of Europe, European Convention on Human Rights, Article 6; United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, Article 14.
[8] Hukum Pidana beberapa negara Eropa memasukkan hukum internasional dan membenarkan hukuman atas perusahaan-perusahaan pelanggaran hukum internasional dimana pertanggungjawaban kriminal masih bisa diterapkan (Belgia, Jerman, Belanda, Spanyol, dan Inggris Raya mempidana genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan perang dengan hukum nasional mereka) (Kirshner 2012, hal. 285). Periksa juga tulisan “Business and Human Rights: The Role of States in Effectively Regulating and Adjudicating the Activities of Corporations with Respect to Human Rights, Background Notes, Copenhagen, 8-9 Nov. 2007 bisa didownload di: http://www.reports-and-materials.org/Copenhagen-8-9-Nov-2007-background….
[9] Menimbulkan polusi di air berdasar Pasal 324 1 StGB (KUHP) (Jerman) (meliputi polusi air); Pasal 324 III, 13 1 St.GB (meliputi polusi air karena kelalaian); Pasal 223 1, 224 1 Nr. 1 StGB (menimbulkan bahaya fisik); Pasal 227 1 St.GB (menyebabkan bahaya fisik dengan konsekuensi fatal); European Center for Constitutional and Human Rights, Business and Human Rights European Cases Database, November 2008 (Kirshner 2012).
[10] Di bulan April 2008, Prof. John Ruggie memproduksi satu laporan yang menciptakan kerangka berdasar tiga pilar 'proteksi,' 'respek,' and 'ganti rugi.' Sampai 2011, Prof. Ruggie bekerja memproduksi penuntun implementasi untuk perusahaan dan negara yang disebut Kerangka Ruggie atau The Ruggie Framework yang mendesak penghormatan atas “semua hak-hak yang diakui secara internasional” (Guiding Principles of 2011) sesuai the International Bill of Human Rights dan prinsip-prinsip seputar hak-hak fundamental di dalam ILO’s Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work. Kerangka Ruggie ini sudah didukung one Komisi HAM PBB (UN Human Rights Council), diadopsi oleh OECD, disarankan oleh Uni Eropa, dan mempengaruhi desain standar-standar oleh ISO (International Organization for Standardization) 26000 dan sistem standar lain (Wheeler 2015, hal. 6).
[11] Unocal, 395 F. 3d at 937; Doe v. Unocal Corp., 110 F. Supp. 2d 1294 (C.D. Cal. 2000); Doe v. Unocal Corp., 27 F. Supp. 2d 1174 (C.D. Cal. 1998).
[12] Dengan mengaplikasikan prinsip jurisdiksi bernama "kebangsaan secara pasif," undang-undang Belgia mensyaratkan bahwa korban kejahatan di luar negeri haruslah warganegara Belgia, atau memiliki status residen legal yang nyata, sehari-hari di Belgia paling tidak selama tiga tahun, atau, setelah Mei 2006, berstatus pengungsi yang diakui di Belgia (Kaeb 2008, hal. 341).
[13] Pemda Kabupaten Pati di tahun 2011 mengizinkan anak perusahaan (PT. SMS) dari perusahaan semen milik negara untuk membuka pabrik semen lewat SK No. 591/021/2011 (untuk periode 2011-2013). Pengadilan Tata Usaha Semarang (Tingkat I) (PTUN Semarang), setelah menerima pengaduan masyarakat dalam Kasus bernomor No. 015/G/2015/PTUN, memutuskan bahwa Izin Membuka Pabrik Semen dari Pemda Kabupaten Pati yang dipegang oleh PT. SMS sudah kadaluwarsa di tahun 2015. Tipe putusan semacam ini menunjukkan watak PTUN yang melulu bersifat administrative. (Untuk bacaan yang lebih mendalam soal problematika PTUN di Indonesia, silakan baca tulisan dari Bedner and Wiratraman 2019).
[14] Rustinsyah (2016, hal. 10) melaporkan dampak dari proyek Corporate Social Responsibility di Tuban, Jawa Timur, Indonesia bahwa (1) polusi udara bisa dikurangi oleh pohon-pohon yang ditanam perusahaan, (2) infrastruktur yang dibuat perusahaan membuat bangga para penduduk desa, (3) beasiswa dari perusahaan membawa banyak anak-anak bersekolah, (4) meningkatnya “status kesehatan” karena klinik gratis dan moderen oleh perusahaan, (5) meningkatnya pengetahuan petani soal pertanian moderen dan organik, (6) pertumbuhan bisnis kecil menengah dan kesejahteraan warga desa, dan (7) meningkatnya kegiatan keagamaan dan berkurangnya tingkat kejahatan.
[15] Arbitrase Internasional mulai jadi aturan global sejak PD II ketika perdagangan dan investasi asing langsung mulai menjamur (Day 2015, hal. 1103). Sistem ini hampir runtuh dan diperbaiki lewat Bank Dunia dengan International Centre for Settlement of International Disputes (ICSID atau Pusat Internasional Penyelesaian Sengketa Internasional) di pertengahan abad ke-20. Kemudian ICSID dan United Nations’ Convention on the Enforcement of Foreign Arbitral Awards (“New York Convention” atau Konvensi PBB untuk Penegakan Keputusan Arbitrase Asing) merampas hak penelaahan dari pengadilan nasional untuk mereview keputusan arbitrase ini (Strub Jr., 1990 dikutip oleh Day 2015, hal. 1105; juga bisa dilihat di Boralessa 2004). Setelah penerimaan hasil arbitrase internasional ke dalam Traktat Hak Asasi Manusia di Afrika (sekitar 1960-an, 1970-an) dan Singapura (di tahun 2003 lewat “EFTA-Singapore Free-Trade Agreement”), rejim arbitrase internasional paling menjanjikan adalah Bangladesh Accord (Oktober 2013) dengan keputusan-keputusan atas bisnis multinasional yang sangat dihormati (setelah kebakaran merusak banyak industri garmen di Bangladesh) secara global (tanpa hak review oleh pengadilan tingkat nasional) (Day 2015, hal. 1112-1114).
Daftar Pustaka
Apriando, T. dan Saturi, S., 2014. Tolak Tambang dan Pabrik Semen, Warga Rembang Diintimidasi TNI/Polri, (Online). Available at:< https://www.mongabay.co.id/2014/06/16/tolak-tambang-dan-pabrik-semen-warga-rembang-diintimidasi-tnipolri/> [Accessed 2 February 2020].
Bedner, A. dan Wiratraman, P. W., 2019, The Administrative Courts, In: M. Crouch (ed.), 2019, The Politics of Court Reforms: Judicial Change and Legal Culture in Indonesia, Sydney: Cambridge University Press, hal. 133-148. Doi: https://doi.org/10.1017/9781108636131.006.
Boralessa, A., 2004, Enforcement in the United States and United Kingdom of ICSID Awards Against the Republic of Argentina; Obstacles That Transnational Corporations May Face, 17 N.Y. INT’L L. REV. 53, 54 (2004).
BverfG, 2013, Urteil das Ersten vom 17.Dezember 2013 – 1 BVR 3139/08 Rn-(1-333) [Internet]. [cited 2016 Jul 18.] Available at:<http://www.bundesverfassungsgericht.de/SharedDocs/Entscheidungen/DE/2013/12/rs20131217_1bvr313908.html> [Accessed 12 February 2020].
Cannizzaro, E., 2015, The EU’s Human Rights Obligations in Relation to Policies with Extraterritorial Effect: A Reply to Lorand Bartels, The European Journal of International Law Vol. 25 No. 4, pp. 1093-1099. Doi:10.1093/ejil/chu085.
Chehreghni, H., 2004. Environment in cement industry. Hazegh Publications (bahasa Farsi).
Day, G. R., 2015, Private Solutions to Global Crises, St. John’s Law Review Vol. 89, hal. 1079-1127.
de Schutter, O. 2006, Extraterritorial Jurisdiction as a tool for improving the Human Rights Accountability of Transnational Corporations, (Online). Available at:< https://www.business-humanrights.org/sites/default/files/reports-and-ma…; [Accessed 12 February 2020].
Deva, S., 2007, ‘Submission to the Office of the High Commissioner for Human Rights in Relation to Equitable Access to Safe Drinking Water and Sanitation’, 15 April 2007, (Online). Available at:<http://www2.ohchr.org/english/issues/water/contributions/universities/CityUniversityHongKong.pdf> [Accessed 2 February 2020].
El-Taher, A., Makhluf, S., Nossair, A., dan Abdel Halim, A.S., 2010. Assessment of natural radioactivity levels and radiation hazards due to cement industry. Applied Radiation and Isotopes 68 (2010), hal. 169-174.
Frynas, J.G., 2003, Global Monitor: Royal Dutch/Shell, 8 NEW POL. ECON. 275, hal. 279-80.
Gunningham, N., Kagan, R., and Thornton, D., “Social License and Environmental Protection: Why Business Go Beyond Compliance”, Law and Social Inquiry 29 (2004), hal. 300-320.
Herwati, S.R.M. dan Sumarlan, Y., 2016. Peasants’ Land Rights Claim over Plantation Companies’ Sites in Central Java, Indonesia (1998-2014). Indonesia Law Review (2016) 1, hal. 111-133.
Herwati, S.R.M., 2015, Peasants’ Land Rights Claims over Plantation Companies’ Sites in Central Java, Indonesia, MA, Mahidol University.
Hoops, B., Saville, J., Mostert, H., 2015, Expropriation and the endurance of public purpose: lesson for South Africa from comparative law on the change of expropriatory purpose. Eur Property Law J. 4: hal. 115-151.
Hosseinian, S.M., dan Nezamoleslami, R., 2017. Water Footprint and Virtual Water Assessment in Cement Industry: A Case Study in Iran. Journal of Cleaner Production (2017). doi:10.1016/j.jclepro.2017.11.164.
Jeswani, H.K. and Azapagic, A., 2011. Water Footprint: methodologies and a case study for assessing the impacts of water use. Journal of Cleaner Production, 19, hal. 1288-1299.
Jong Hyun Won dan Tai Gyu Lee, 2012. Estimation of total annual mercury emissions from cement manufacturing facilities in Korea, Atmospheric Environment 62 (2012), hal. 265-271.
Kaeb, C., 2008, Emerging Issues of Human Rights Responsibility in the Extractive and Manufacturing Industries: Patterns and Liability Risks, Northwestern Journal of International Human Rights, Vol 6: 2, hal. 327-353.
Keller, A. dan Klute, M., 2016. Dirty Cement: The Case of Indonesia. (Online). Available at:<www.th.boell.org/en/2016/12/09/dirty-cement-case-indonesia> [Accessed 15 January 2020].
Kirshner, J.A., 2012, Why is the U.S. Abdicating the Policing of Multinational Corporations to Europe?: Extraterritoriality, Sovereignty, and the Alien Tort Statute, Berkeley Journal of International Law Vol. 30:2, hal. 259-301.
Middleton, C., 2018. National human rights institutions, extraterritorial obligations, and hydropower in Southeast Asia: Implications of the region’s authoritarian turn. Austrian Journal of South-East Asian Studies, 11(1), hal. 81-97.
National Human Rights Commission of Thailand, 2012, May 4, National human rights commission of Thailand’s press release on Xayaburi (unofficial translation). Bangkok: NHRCT.
Rustinsyah, 2016, The impact of a cement company’s CSR programmes on the lifestyle of a rural community: a case study in the Ring 1 area in Tuban, East Java, Indonesia, International Journal of Sustainable Development and World Ecologies, DOI:10.1080.13504509.2016.1201020. Available at:< https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13504509.2016.1201020> [Accessed 17 February 2020].
Short, D., Elliot, J., Norder, K., Lloyd-Davies, E., and Morley, J., 2015, Extreme energy, ‘fracking’ and human rights: a new field for human rights impact assessments?, The International Journal of Human Rights, 19: 6, hal. 697-736.
Sobirin, M., 2018, Gunarti and the Kendeng Women Movement, (Online). Available at:< https://th.boell.org/en/2018/01/08/gunarti-and-kendeng-women-movement> [Accessed 17 February 2020].
Strub Jr., M. H., 1990, Note, Resisting Enforcement of Foreign Arbitral Awards Under Article V(1)(e) and Article VI of the New York Convention: A Proposal for Effective Guidelines, 68 TEX. L. REV. 1031, 1034-35 (1990).
TOTAL, S.A., Sharing Our Energies 2006: Corporate Social Responsibility Report 15 (2006), (Online). Available at:<http://www.total.com/static/en/medias/topic1606/Total_2006_CSR_en.pdf> [Accessed 11 January 2020].
United Nations, 2014, Forced evictions [Internet]. Fact Sheet No. 25. Rev 1. New York and Geneva: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. UNHabitat; [cited 2016 Jul 18]. Available at:<http://www.ohchr.org/Documents/Publications/FS25.Rev.1.pdf> [Accessed 12 February 2020].
Watts, M.J., 2005. Righteous Oil? Human Rights. The Oil Complex, and Corporate Social Responsibility, Ann. Rev. of Envt and Resources 373, hal. 390-391.
Wheeler, S., 2015, “Global production, CSR and human rights: the courts of public opinion and the social licence to operate”, The International Journal of Human Rights, DOI: 10.1080/13642987.2015.1016712